![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgdbRWU764y6roDzbGdMnhm3gVYfnTwTSGtlyjGhEBVto5wYOdocpneBSjRGczhew959vMnCB7-mePq0MtYHwI1uIQBolqgqhs5ebUbkfepyIOiUsE12o6_lBhNDZ9aGADdp-sUrcSLvTM/s200/ask-about-free-software-wlink.jpg)
Baru-baru ini Pemerintah Rusia mengambil keputusan untuk memulai berpindah ke open source. Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin telah menandatangani dokumen kebijakan transisi ke software open source, termasuk Linux, pada 2015 mendatang. Kementerian Komunikasi Rusia diperintahkan membentuk solusi software gratis bagi masalah-masalah tipikal di lembaga terkait. Hasilnya yakni berupa paket software open source yang termasuk di dalamnya terdapat sistem operasi, driver dan aplikasi software untuk server. Kebijakan tersebut dalam skala terbatas sebetulnya sudah dimulai pada tahun 2008. Pada 2008, Pemerintah di negara tersebut memerintahkan sekolah-sekolah untuk menggunakan paket software gratis pada semua komputer mereka (Rachmatunisa, 2010).
Perancis malah mendahului apa yang dilakukan Rusia.Pada 2005, Kepolisian Perancis mulai memakai software open source. Seluruh organisasi kepolisian ini yang sebelumnya memakai Microsoft Office, menggantinya dengan OpenOffice.org. Secara bertahap merekapun ikut mengadopsi berbagai aplikasi termasuk Firefox dan Thunderbird. Lantas saat Windows Vista dirilis di 2006, mereka memutuskan untuk berpindah hati ke Ubuntu, alih-alih meng-update-nya ke Vista. Ternyata langkah ini berhasil. Sejak tahun 2004, uang sejumlah 50 juta Euro berhasil dihemat dari biaya perijinan (license) dan biaya perawatan (maintenance) atas strategi perpindahan tersebut. Usai sukses memindahkan infrastruktur software desktop dari Windows ke Ubuntu, kepolisian Perancis lantas membuat rencana lanjutan untuk memakai sistem operasi tersebut di puluhan ribu tempat kerja mereka hingga 2015 nanti (Jayanti, 2009).
Langkah yang diambil Kepolisian Perancis lantas diikuti oleh Parlemen Perancis. Mulai Juni 2007, komputer-komputer di Parlemen Prancis akan dilengkapi sistem operasi Linux dan berbagai software open source. Sebanyak 1.154 komputer di Parlemen Prancis akan menjalankan Linux, lengkap dengan software perkantoran OpenOffice, browser Firefox dan aplikasi e-mail client open-source. Keputusan menggunakan Linux diambil setelah dilakukan studi mendalam oleh perusahaan layanan teknologi Atos Origin. Hasil studi menunjukkan software open-source akan memberi fungsionalitas yang disesuaikan dengan kebutuhan para anggota parlemen dan memungkinkan untuk berhemat (Susrini, 2006).
Kebijakan penggunaan open source juga diterapkan di beberapa negara lainnya. Kuba pelan-pelan mengganti sistem operasi komputer yang digunakan di lembaga-lembaga pemerintahannya, dari Windows ke Linux (Anwar, 2005). Korea Selatan mulai menerapkan open source di kota dan universitas terpilih (Ien, 2006). Pemerintah kota Munich (Muenchen), Jerman, beralih menggunakan SUSE Linux sebagai pengganti sistem operasi Windows pada 2003 (Wiryana, 2004). Bahkan, Gedung Putih (AS) pada 2009 memakai server Linux dengan Drupal sebagai manajemen kontennya (Tim, 2009). Di dunia pendidikan, Pemerintah Brazil pada 2010 mulai menyebarluaskan komputer berbasis Linux dalam skala besar untuk sekolah-sekolah. Jumlah komputer yang berlisensi FOSS tersebut sekitar 1,5 juta unit (Varghese, 2010).
Kebijakan yang diterapkan oleh berbagai negara di atas justru bertolak belakang dengan langkah yang diambil Pemerintah Indonesia. Pada 2006 yang lalu, Pemerintah dan Microsoft telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) terkait Hak atas Kekayaan Intelektual. Utamanya soal penggunaan piranti lunak legal di kantor pemerintahan. Masalahnya adalah perjanjian Pemerintah dan Microsoft meliputi juga pembelian lisensi Windows sebanyak 35.496 lisensi dan Microsoft Office sebanyak 177.480 lisensi. Onno W. Purbo (pencetus implementasi VoIP di Indonesia) memperkirakan dengan kurs US$ 1 = Rp 9.065, maka total anggaran yang akan diterima Microsoft adalah 676 miliar Rupiah. Sebagai alternatif berhemat, Onno mengusulkan open source untuk aplikasi yang bisa digunakan Pemerintah (Hidayat, 2006).
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, negara-negara berkembang hingga negara maju sudah beralih menggunakan open source. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita masih akan menggunakan software ”bajakan” (Windows) bukan open source? sebetulnya apakah software open source itu? apakah menggunakan open source membuat kita merdeka? simak artikel berikutnya.
Perancis malah mendahului apa yang dilakukan Rusia.Pada 2005, Kepolisian Perancis mulai memakai software open source. Seluruh organisasi kepolisian ini yang sebelumnya memakai Microsoft Office, menggantinya dengan OpenOffice.org. Secara bertahap merekapun ikut mengadopsi berbagai aplikasi termasuk Firefox dan Thunderbird. Lantas saat Windows Vista dirilis di 2006, mereka memutuskan untuk berpindah hati ke Ubuntu, alih-alih meng-update-nya ke Vista. Ternyata langkah ini berhasil. Sejak tahun 2004, uang sejumlah 50 juta Euro berhasil dihemat dari biaya perijinan (license) dan biaya perawatan (maintenance) atas strategi perpindahan tersebut. Usai sukses memindahkan infrastruktur software desktop dari Windows ke Ubuntu, kepolisian Perancis lantas membuat rencana lanjutan untuk memakai sistem operasi tersebut di puluhan ribu tempat kerja mereka hingga 2015 nanti (Jayanti, 2009).
Langkah yang diambil Kepolisian Perancis lantas diikuti oleh Parlemen Perancis. Mulai Juni 2007, komputer-komputer di Parlemen Prancis akan dilengkapi sistem operasi Linux dan berbagai software open source. Sebanyak 1.154 komputer di Parlemen Prancis akan menjalankan Linux, lengkap dengan software perkantoran OpenOffice, browser Firefox dan aplikasi e-mail client open-source. Keputusan menggunakan Linux diambil setelah dilakukan studi mendalam oleh perusahaan layanan teknologi Atos Origin. Hasil studi menunjukkan software open-source akan memberi fungsionalitas yang disesuaikan dengan kebutuhan para anggota parlemen dan memungkinkan untuk berhemat (Susrini, 2006).
Kebijakan penggunaan open source juga diterapkan di beberapa negara lainnya. Kuba pelan-pelan mengganti sistem operasi komputer yang digunakan di lembaga-lembaga pemerintahannya, dari Windows ke Linux (Anwar, 2005). Korea Selatan mulai menerapkan open source di kota dan universitas terpilih (Ien, 2006). Pemerintah kota Munich (Muenchen), Jerman, beralih menggunakan SUSE Linux sebagai pengganti sistem operasi Windows pada 2003 (Wiryana, 2004). Bahkan, Gedung Putih (AS) pada 2009 memakai server Linux dengan Drupal sebagai manajemen kontennya (Tim, 2009). Di dunia pendidikan, Pemerintah Brazil pada 2010 mulai menyebarluaskan komputer berbasis Linux dalam skala besar untuk sekolah-sekolah. Jumlah komputer yang berlisensi FOSS tersebut sekitar 1,5 juta unit (Varghese, 2010).
Kebijakan yang diterapkan oleh berbagai negara di atas justru bertolak belakang dengan langkah yang diambil Pemerintah Indonesia. Pada 2006 yang lalu, Pemerintah dan Microsoft telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) terkait Hak atas Kekayaan Intelektual. Utamanya soal penggunaan piranti lunak legal di kantor pemerintahan. Masalahnya adalah perjanjian Pemerintah dan Microsoft meliputi juga pembelian lisensi Windows sebanyak 35.496 lisensi dan Microsoft Office sebanyak 177.480 lisensi. Onno W. Purbo (pencetus implementasi VoIP di Indonesia) memperkirakan dengan kurs US$ 1 = Rp 9.065, maka total anggaran yang akan diterima Microsoft adalah 676 miliar Rupiah. Sebagai alternatif berhemat, Onno mengusulkan open source untuk aplikasi yang bisa digunakan Pemerintah (Hidayat, 2006).
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, negara-negara berkembang hingga negara maju sudah beralih menggunakan open source. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita masih akan menggunakan software ”bajakan” (Windows) bukan open source? sebetulnya apakah software open source itu? apakah menggunakan open source membuat kita merdeka? simak artikel berikutnya.